That's my name and i just wanna shared everything that i know to all the people in this world or in the other world. this blog is the presentation of my own story or whatever i know. i apologize if there is something wrong with my blog

Minggu, 05 Desember 2010

Terjebak Kontroversi Monarki

Pemerintah mengajukan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Meski bukan subtansi, monarki jadi isu.


 Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (ANTARA/ Widodo S. Jusuf)


Para pegawai Sekretariat Kepresidenan tampak sibuk menata acara jumpa pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis 2 Desember 2010. Teleprompter, alat penampil teks pidato, sudah terpacak di depan mimbar. Segalanya dipastikan bekerja dengan baik. Termasuk satu komputer tablet, iPad.

Pada pukul dua siang, Presiden menjelaskan kembali soal Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta. Ini pidatonya yang kedua dengan tema sama.

"Setelah saya ikuti, apa yang disampaikan di media massa belakangan ini, ada yang memang sesuai dengan apa yang saya sampaikan pada 26 November. Tapi saya rasakan ada yang tergeser atau digeser ke sisi yang lain, bahwa seolah-olah ada konflik pribadi antara saya dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X atau Pak Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta," ujar SBY. Mimik wajahnya serius.

Pidato itu memang ditunggu banyak orang. Soalnya, pidato SBY sebelumnya pada 26 November 2010 memancing reaksi dari Yogyakarta. Saat itu, pada pembukaan rapat kabinet terbatas membahas persiapan empat RUU berkaitan dengan daerah, SBY memberi pernyataan bahwa monarki sebaiknya tak bertabrakan dengan demokrasi.

Tafsir pun merebak begitu ucapan Presiden menyebar di media. Orang membaca hal itu sindiran bagi Sultan Hamengkubuwono X, raja di Keraton Yogyakarta. Pernyataan itu pun berkembang di media massa. Dari komentar keras, sampai aksi massa memprotes ucapan presiden pun bermunculan di Kota Gudeg itu.

Itu sebabnya pidato klarifikasi itu penting. Presiden lalu mengulang kembali pernyataannya tentang tiga pilar yang harus diperhatikan dalam membahas RUU itu.  Solanya, rancangan itu gagal diundang-undangkan oleh dua periode Dewan Perwakilan Rakyat. Pilarnya, kata SBY, adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesejarahan Yogyakarta yang istimewa dan nilai demokrasi yang dianut konstitusi.

Kalau disimak baik-baik, kata SBY, tak ada sepatahpun kata dukungan bahwa Gubernur DIY dipilih atau ditetapkan. "Yang tengah kami pikirkan adalah keistimewaan Yogyakarta dalam artian utuh dan menyeluruh agar diatur dalam undang-undang yang selama ini belum diatur secara eksplisit. Bukan semata politik praktis.”

RUU ini, kata dia, bukan sekedar mengatur soal kedudukan, kekuasaan, masa jabatan, dan cara pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY-- meski diakui Presiden sebagai aspek yang penting. "Tapi juga sisi pemerintah dan posisi yang pas untuk Kesultanan dan Paku Alam. Tentang penghormatan dan perlakuan istimewa Kesultanan dan Paku Alam yang bersifat permanen."

Soal figur Gubernur, secara terbuka SBY menyebut Sultan Hamengku Buwono X sebagai pilihannya. "Tolong dicatat tebal-tebal oleh Saudara-saudara, insan pers, sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya berpendapat untuk kepemimpinan dan posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terbaik dan paling tepat tetap Saudara Sri Sultan."

Tapi, SBY mengingatkan, menjelang berakhirnya masa jabatan kedua Sultan sebagai Gubernur DIY periode 2003-2008, terjadi dinamika politik. Tahun 2007 muncul perdebatan soal bagaimana kelanjutan DIY setelah habis masa jabatan kedua Sultan sebagai gubernur.

Dan Sultan pada tahun 2008 itu, kata SBY, dua kali menyatakan keengganan untuk terus-menerus bertahta di kursi gubernur.

Saat berulang tahun ke-61, dalam orasi budaya di depan publik, Sultan menyatakan tidak lagi bersedia menjadi gubernur setelah masa jabatannya selesai pada 2008. "Beberapa saat kemudian, 18 April 2007, Sultan kembali menjelaskan tidak ingin menjadi gubernur lagi. Ini saya ikuti dengan seksama," kata SBY dalam pidato Kamis, 2 Desember 2010 itu.

Meski demikian, Presiden SBY mengaku mengambil inisiatif memperpanjang masa jabatan Sultan sebagai gubernur untuk periode 2008-2011. "Alhamdulillah, Beliau bersedia diperpanjang selama tiga tahun. Dalam masa perpanjangan inilah kita ingin dengan jernih memikirkan dan merumuskan undang-undang yang tengah kita godok bersama," kata Presiden.

Landasan Keistimewaan

Keistimewaan Yogyakarta merujuk pada historisnya dulu sebagai Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, sebuah negara dependen di bawah Kerajaan Belanda. “Saat bergabung dengan NKRI, Kasultanan dan Pakualaman diakui oleh pemerintah Belanda sebagai suatu daerah dengan kontrak politik Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941 No 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam Staatsblaad 1941 Nomor 577,” kata Gusti Bendoro Pangeran Haryo Yudhaningrat, adik Hamengku Buwono X.

Adalah Sultan Hamengku Buwono IX, ayahanda Sultan sekarang, yang mendeklarasikan kesultanannya menjadi bagian dari Republik Indonesia yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Pada 5 September 1945, Sultan bersama Paku Alam VIII mengeluarkan Maklumat yang menyatakan, pertama, “Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.”

Yudhaningrat kemudian mengingatkan, poin ketiga Maklumat itu berisi pernyataan Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Pernyataan itulah yang kemudian menjadi dasar munculnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950, yang mengukuhkan keistimewaan Yogyakarta. Sebelumnya, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 18 Undang-undang Dasar juga mengakui ada daerah yang istimewa karena hak asal-usul.

Tapi, di sini lah soalnya. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 itu tak mengatur suksesi kepala daerah di Yogyakarta. Kelak, kosongnya aturan ini menjadi masalah. Meski Bendara Raden Mas Herjuno Darpito telah menjadi Sultan Hamengku Buwono X pada 1989, posisi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tetap terus dipegang Sri Paku Alam VIII.

Mestinya, menurut adik Sultan, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Joyokusumo, Gubernur otomatis kembali dijabat Sultan dari Keraton Yogyakarta. “Namun rakyat Yogyakarta tetap memposisikan Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur,” kata Joyokusumo.

Bertahun-tahun Sultan Hamengku Buwono X berada pada posisi seperti itu. “Sampai Presiden Habibie kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden mengangkat beliau sebagai Gubernur pada 1998,” kata Joyokusumo.

Pada 1999, muncul Undang-undang Nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah. Bagian penjelasan Pasal 122 UU ini mengatur "Pengakuan keistimewaan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini."

Undang-undang Pemerintahan daerah ini direspons dengan membentuk suatu rancangan undang-undang tersendiri untuk Yogyakarta pada tahun 2002. Namun kandas. Hasilnya, pada 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri memperpanjang kembali masa jabatan Sultan sebagai Gubernur melalui Keputusan Presiden.

Tahun 2004, UU 22/1999 direvisi dengan UU Nomor 32. Pasal 226 UU ini mengatur, "Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang tersendiri."

UU ini jelas, status istimewa atau khusus mensyaratkan sebuah UU tersendiri. Kembali, pemerintah menyiapkan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Tahun 2007, setahun menjelang masa jabatan kedua Sultan sebagai Gubernur berakhir, muncul setidaknya tiga draf RUU, satu dari Pemerintah Yogyakarta, satu dari Universitas Gadjah Mada dan satu lagi dari Departemen Dalam Negeri.

Draf pertama, mendukung status quo. Draf kedua, mengetengahkan sebuah model “monarki konstitusional” di mana Sultan diposisikan di atas Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta selaku “Pengageng.” Sementara draf ketiga, mengadopsi sejumlah aspek “monarki-konstitusional” yang ditawarkan UGM, di mana Sultan diposisikan sebagai “Parardhya.”

Tapi sampai masa jabatan kedua Sultan sebagai gubernur berakhir pada 2008, RUU Keistimewaan Yogyakarta gagal lagi diundang-undangkan. Meskipun delapan fraksi di parlemen setuju Gubernur DIY ditetapkan. "Hanya Fraksi Partai Demokrat dan Pemerintah yang maunya dipilih," kata Lukman Hakim Saifuddin, Ketua PPP menceritakan kembali momen itu. Tapi, anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Muhammad Afnan Hadikusumo, menuding, RUU itu terkatung-katung karena Demokrat belum bersikap.

Presiden mengambil kebijaksanaan memperpanjang masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sampai 2011. "Alhamdulillah, Beliau (Sultan) bersedia diperpanjang selama tiga tahun,” kata SBY dalam pidato Kamis lalu. Perpanjangan ini, kata SBY, akan digunakan menyiapkan RUU Keistimewaan Yogyakarta.

Bel Referendum
Sultan Hamengku Buwono X rupanya tak lupa soal janji SBY pada 2008 itu. 28 September 2010, Sultan membunyikan “bel” yang secara implisit meminta Pemerintah menyiapkan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Kali ini, Sultan memperingatkan dengan memberi embel-embel.

Sultan meminta penentuan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih secara langsung harus disepakati melalui referendum. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, kata penguasa Yogyakarta itu, tak bisa menentukan itu sendiri. “Dari pada ribut penetapan atau pemilihan, kalau berani pemerintah pusat referendum saja, karena hak menentukan itu ada di tangan rakyat. Tanya pada rakyat kan podo karo (sama dengan) referendum,” kata Sultan.

Pada Jumat 26 November, Presiden memimpin langsung rapat kabinet terbatas membahas empat RUU, salah satunya RUU Keistimewaan Yogyakarta. Saat membuka rapat, Presiden melansir soal “sistem monarki tak mungkin bertabrakan dengan nilai demokrasi dan konstitusi."

Pernyataan ini mengundang polemik. Sultan bahkan sampai menggelar jumpa pers keesokan harinya di Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Sultan mempertanyakan “monarki” yang dimaksud Presiden. Sultan menyatakan, pemerintahan di Yogyakarta dijalankan berdasarkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kemudian soal dipilih atau ditetapkan, Walikota Jakarta Pusat juga ditetapkan, tak ada yang mempersoalkan, kata Sultan.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Pramono Anung menyebut, masyarakat Yogyakarta telah membentuk persepsi tertentu atas pernyataan Presiden itu. "Jadi kalau sekarang mau dielaborasi atau diperbaiki statemennya, menurut saya, persepsi di masyarakat sudah muncul," ujar Pramono.

Apa pun persepsi itu, rapat kabinet setelah pidato pada Kamis lalu itu membuktikan Pemerintah ingin Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih secara demokratis. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan  Keamanan Djoko Suyanto mengatakan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Pakualam tetap diposisikan sebagai orang nomor satu di Yogyakarta. "Sedangkan kalau proses demokratisasi di wilayah itu, penyelenggara pemerintah sehari-hari (Gubernur) dipilih rakyat secara demokrasi," kata Djoko.

Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menyatakan, terdapat tujuh substansi keistimewaan dalam draf RUU ini. Enam poin antara lain soal kultural, pengelolaan tanah, adat, tata ruang, dan keuangan sudah disepakati, hanya tinggal satu yakni terkait posisi Gubernur yang ditetapkan atau dipilih. Pemerintah sedang mencari titik temu antara Pasal 18 ayat 4 dengan Pasal 18B Undang-undang Dasar 1945. Pasal yang pertama mengatur “kepala daerah dipilih secara demokratis,” sementara yang berikut mengakui keistimewaan daerah.

Dan hasilnya, pemerintah memilih jalan Gubernur dipilih. "Agar Sultan tidak harus terkena pertanggungjawaban masalah-masalah hukum akibat penyelenggaraan negara.” Namun Sultan masih diberi sejumlah kewenangan, antara lain melantik Bupati. "Hal lain misalnya, calon gubernur harus dapat persetujuan Sultan," kata mantan Gubernur Sumatera Barat itu.

Dipilih atau Ditetapkan?
Arah Pemerintah menuju model pemilihan ini jelas akan mendapat banyak tentangan. Kalangan Keraton, seperti disampaikan Joyokusumo dan Yudhaningrat, menyatakan, jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah milik Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku. Soal suksesi, Keraton punya mekanisme sendiri.

“Dari pihak keraton sendiri sudah ada aturan atau “paugeran” jika nantinya Sultan sudah tidak lagi mampu memimpin atau meninggal dunia dapat ditentukan siapa penggantinya. Sehingga kekhawatiran nantinya terjadi kekosongan jabatan karena belum ada Sultan yang bertahta untuk menjabat sebagai Gubernur tidak perlu dirisaukan,”kata Yudhaningrat.

Karena itu, Joyokusumo meminta baik Pemerintah atau pun DPR, meminta masukan rakyat Yogyakarta saat membahas RUU ini. “Jangan hanya intelektual saja, tapi juga masyarakat awam. Juga, saya kira, tanyalah yang membuat (amandemen) Undang-undang Dasar, yaitu MPR,” kata Joyokusumo.

Ferry Mursyidan Baldan, anggota Komisi II DPR 2004-2009 yang dulu membahas RUU Keistimewaan Yogyakarta, membedakan posisi Gubernur dengan Sultan akan menambah rumit. Politisi Golkar itu menyatakan, selama ini Sultan merangkap Gubernur tidak ada masalah.  “Jangan sampai pengaturan keistimewaan menimbulkan masalah yang sebelumnya tidak ada,” katanya.

“Kalau kita melihat penetapan tidak demokratis, apakah kemudian memilah jabatan Sultan dan Gubernur menjadi demokratis? Demokrasi kan alat untuk mencapai kesejahteraan, bukan demokrasi untuk demokrasi. Ini jadi rancu kan. Jangan mencari-cari argumen bahwa harus ada pemilihan di Yogyakarta untuk gubernur,” kata Ferry yang juga fungsionaris Nasional Demokrat, organisasi massa yang didirikan Sultan itu.

Di Parlemen sendiri, sejumlah partai masih konsisten bersikap mendukung Gubernur DIY ditetapkan. Hanya Partai Amanat Nasional berubah haluan, berbalik mendukung Gubernur dipilih seperti yang disuarakan Partai Demokrat. Ketua Partai Amanat Nasional yang juga Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi pemerintahan, Hakam Naja, menyatakan, keistimewaan DIY harus berpatokan pada konstitusi.

"Di konstitusi, keistimewaan itu dihormati, tapi ada juga dalam konstitusi gubernur dipilih demokratis. (Keduanya) mesti dipadukan," kata Hakam. “Artinya peran keistimewaan Yogya diberikan penghormatan, di sisi lain, gubernur dan walikota dipilih demokratis. Dua koridor ini dilakukan harmonisasi," katanya.

Masuknya PAN ke kubu pro-pemilihan ini jelas semakin mempolarisasi parlemen dalam dua kubu hampir sama besar. Sementara Sultan sendiri menyatakan, apakah dipilih atau ditetapkan,  "Tanyakan saja langsung ke rakyat.”(np)

Laporan Juna Sanbawa | Yogyakarta
• VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar